SENI LUKIS PEMANDANGAN
ALAM DARI TUBUH YANG MENYIMPAN DAN TUBUH YANG MENATAP
Seni Lukis Indonesia Baru
: Sanento Yuliman
Oleh
Riyadhus Shalihin
Mengenali gerak per periode seni
lukis Indonesia seperti mencium bau sejarah Indonesia dengan lebih dekat. Bau
yang merekat dari lelehan cat, torehan tube cat, pelototan arkilik, dan
sapuan-sapuan kuas di atas kanvas. Bau
yang bersilangan dengan eratnya tali-temali penjajahan, merembesnya cita rasa
eropa dalam tubuh seni lukis Indonesia serta pelarian diri para seniman dalam
mencari yang indah.
Pengelupasan mengenai irisan pertemuan antara seni lukis Indonesia dan pertumbuhan kesejarahan tersebut diulas oleh Sanento Yuliman dalam bukunya ‘Seni Lukis Indonesia Baru – Sebuah Pengantar’. Sebuah buku yang memberikan pembacaan mendasar mengenai apa yang terjadi dalam lapangan seni lukis Indonesia, terutama yang bergerak dari tahun 1900, 1940,1960 hingga setelah 1960 (pembentukan seni lukis abstrak dan setelahnya). Buku ini memang tidak bertujuan untuk menguliti hingga dalam masalah-masalah yang terdapat pada seni lukis Indonesia, namun buku ini menjadi bernas sebab dapat membukakan jalan bagi pembacanya dalam memasuki lapangan kesejarahan seni lukis Indonesia. Ditulis oleh seorang ahli seni rupa (lulusan seni rupa ITB) yang juga banyak menjelajah di beragam ranah penulisan (di luar penulisan seni rupa), Sanento Yuliman dikenal luas selain sebagai peninjau seni rupa juga sebagai penyair dan pengulas sastra yang jernih. Dalam kerja penulisan-nya Sanento Yuliman tidak meniti satu persatu objek-objek kajiannya, beberapa masalah yang terhampar dalam medan seni lukis Indonesia digerus olehnya secara bersamaan, antara isu seni dan isu sejarah bisa saling berhadap-hadapan, bercakap dan saling menatap. Kelindan masalah antara problem estetika seni lukis dan tekanan-tekanan politik yang bergerak di sekeliling seniman disimpan oleh penulis dalam sebuah ruang pembacaan yang terbuka, dimana seluruh referensi yang berada di luar tubuh hilir mudik, bebas untuk keluar dan mask.
Membaca
tulisan-tulisan dalam buku ini seperti menyiapkan diri untuk berjalan melewati
lapisan-lapisan teks, terkadang meloncat, terkadang mengalun dan mengalir,
namun di satu waktu tiba-tiba kita terhenti untuk menatap pada satu titik
dengan lebih dalam. Sanento Yuliman lihai dalam membahasakan pertemuan dua
gagasan pembentuk seni lukis, yaitu ; sejarah dan isu seni. Penulis melakukan
kerja pembacaan yang menyerap dengan tekun fakta-fakta di sekitar seni lukis
maupun di luar seni lukis, hingga pembaca dapat menangkap pergolakan suasana
yang mendesak gaya,ideologi dan tekhnik seni lukis itu menguap ke permukaan.
Sanento
Yuliman menemukan adanya dua alur masuk penyebab gaya seni lukis dalam sejarah
seni lukis Indonesia terjadi. Pada tulisan ini saya ingin membagikan hasil
pembacaan saya yang lebih terfokus pada alur pertama sejarah seni lukis
Indonesia, sebagai pintu mengenali apa yang sudah tersimpan dalam arsip telisik
seorang Sanento Yuliman.
Alur pertama berasal dari
periode ketika para pelukis terpesona dan terpana akan apapun yang ada di luar
dirinya, terutama pada objek pemandangan alam Indonesia. Hamparan alam yang ada
di ngarai,laut,teluk,pantai,gunung dan bukit terasa begitu kuat menjalarkan
sengatan keindahan yang menggerakan para pelukis untuk membekukannya di atas
kanvas. Tetapi moment pelukisan tidak terjadi begitu saja, ada aspek-aspek di
luar naluri luluh akan keindahan alam yang ikut menumbuhkan keinginan untuk
membekukan. Alam telah ada sebelum para pelukis tersengat oleh pukauan
keindahan alam, alam sudah ada sebelum estetika merekam keindahan tersebut
hadir. Dengan cukup lugas Sanento Yuliman menjelaskan bahwa seni melukis
pemandangan alam bukanlah seni yang terberi.
Dirinya mengurai kecenderungan untuk melukis alam dalam periode pertama
seni lukis Indonesia yang juga terdistribusi oleh masuknya kolonialisme
Belanda. Ketika Kolonialisme menyebarkan tidak hanya tegangan kekuasaan di
sekitar penjajah dan yang terjajah, tetapi ikut menyemaikan cita rasa estetis
pada yang terjajah.
Pelarian
dari Hiruk Pikuk
Kolonialisme
hadir melalui para wisatawan, pelancong dan seniman-seniman dari Negara Belanda
yang sedang singgah di Indonesia. Kelompok tersebut merupakan perseorangan yang
berada di luar lingkaran pejabat penjajah, individu-individu yang memang datang
untuk menikmati bagaimana negeri yang sedang dijajah oleh negaranya tersebut
dengan lebih dekat, mencium tanah terjajah dengan kaki sendiri. Individu yang
datang tersebut melenggang dan meresap masuk dengan bebas, berkat identitas
koloni yang dibawanya, mereka sudah hadir sebagai tubuh yang asing dan berbeda,
tubuh yang akan selalu ditatap sebagai yang lebih. Kelebihan yang sudah
ditandai oleh pribumi sebagai tubuh yang membawa bobot pengetahuan,
keistimewaan, kemajuan, cita-cita peradaban juga selera estetika. Tubuh yang
sudah selalu terbaca sebagai tubuh yang memerintah, tubuh yang menyimpan
peradaban bangsanya di balik rompi dan kemeja.
Sanento
Yuliman menandai proses pembenaman selera estetika seni lukis pemandangan alam
tersebut melalui medan pergaulan kelas menengah. Antara para pelancong Belanda
juga kaum terpelajar Indonesia. Kaum terpelajar sendiri merupakan agen elit
kebudayaan yang bisa masuk dan bercakap-cakap, berbincang setara dengan para
menak Belanda, melalui transaksi percakapan tersebut, aroma dan nafas estetis kaum
Belanda pelan-pelan tertubuhkan. Tekhnik seni lukis pemandangan alam sendiri
sudah hadir lebih dari empat abad sebelum ada dan dikenal di Indonesia,
terutama oleh golongan menengah eropa yang didominasi oleh para pengusaha, yaitu
golongan yang tidak menyenangi lukisan-lukisan yang berasal dari teks-teks
injili, teks-teks yang lebih digemari oleh para negarawan dan bangsawan
kerajaan. Lukisan-lukisan yang lebih banyak mengamankan posisi manusia yang
berlindung di dalam negara/kerajaan, di mana teologi juga birokrasi bekerjasama
untuk menciptakan lingkaran korupsi, dan dimana teks-teks injili yang berada di
balik motif pelukisan tersebut berfungsi sebagai pengaman bagi langgengnya
kuasa kebangsawanan. Sementara itu para pengusaha dan niagawan yang banyak
bekerja dengan mandiri di tengah-tengah hiruk pikuk pasar dipaksa harus
menerima fenomena seni tersebut secara terberi. Para pengusaha yang bergelut
dan berkelahi di medan pertarungan menolak penubuhan cita rasa tersebut, mereka
lebih menyenangi pemandangan-pemandangan alam yang meneduhkan dan menyejukkan. Pemandangan-pemandangan
tersebut dirasakan oleh mereka dapat membawa tubuh untuk sejenak lari dari
tekanan jual beli usaha, mengistirahatkan kepenatan pikiran yang terus
berjibaku di tengah-tengah kelebat untung dan rugi.
Cita
rasa pemandangan alam yang disimpan oleh tubuh-tubuh pengusaha Eropa tersebut
menjejak di tanah Indonesia. Dan melalui medan pergaulan yang intim antara para
pelancong dan kaum terpelajar Indonesia maka seni lukis pemandangan alam –pun
perlahan menjalar keluar dari rumah pertemuannya. Seni lukis yang pada mulanya
hanya digregeti oleh kaum terpelajar Indonesia ini pun mencair dan mulai masuk
ke berbagai ruang pertemuan lainnya. Akhirnya ragam seni lukis ini pun bocor,
meluber dan tumpah ke seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Abdullah Surio Subroto (1878-1941), Mas Pirngadi (1865-1936) dan Wakidi (1889) adalah sejumlah nama seniman
lukis pemandangan alam di masa tersebut.
Cita rasa tersebut diturunkan melalui tekhnik melukis yang memetakan
tiga posisi ruang, yaitu ; ruang depan,
tengah dan belakang. Tiga pola perspektif itu memberikan penerangan pada salah
satu ruang dan menggelapkan di sisi yang lainnya. Goresan dan sapuan dari cita
rasa ini sebisa mungkin menghasilkan permukaan kanvas yang halus dan kerataan
tekstur yang terjaga. Gelombang dan gerigi diminamalisir sebisa mungkin,
sehingga antara objek yang dilukiskan dan material yang hadir sama-sama
menghasilkan impresi tenang dan lengang. Halus juga terhampar. Gunung dan laut
yang membentang merupakan dua objek alam yang terhitung sering dilukiskan,
suasana luas dari laut, besetan-besetan ombak serta menjulangnya gunung dibetot
oleh para pelukis demi menghadirkan kilatan takjub, kagum dan lesap ke dalam
alam.
Kondisi pelukisan alam ini lalu
ditinjau lebih lanjut oleh Sanento Yuliman ke dalam ruang pembacaan yang lebih
perseorangan. Penulis masuk dan menelisik melalui kondisi mental beberapa pelukis
pemandangan di kala itu, beberapa pelukis tersebut dibaca satu persatu, lalu
terbukalah sebuah moment keserupaan di antara mereka. Para pelukis tersebut (yang sebagian besar berada di kota ;
Jakarta, Jogja, Bandung, Medan) seringkali meninggalkan tempat berdiamnya
dan pergi menuju alam bebas ; gunung,pantai,bukit,ngarai. Kepergian mereka
seringkali sendirian dan hanya ditemani oleh alat-alat kerja melukis-nya,
mereka berdiam dan berlama-lama di depan hamparan objek, menekuni dan melihat.
Kerja para pelukis tersebut bukan kerja menyimpan dan mengendapkan kondisi
objek di luar dirinya, tetapi lebih banyak merupakan kerja melebihkan ataupun
mengurangi apa yang terjadi di hadapan mata. Persepsi yang ada di luar diletakkan
kembali ke dalam kanvas, dengan sudah dibimbing oleh motif lukis yang
memperindah.
Kerja memperindah tersebut dilakukan
dengan tekhnik melebihkan ataupun membuang. Pada lukisan mereka tidak ada jejak
kusam, kumal, dan lusuh. Kekusaman dihindari sebab dapat mengikis tujuan tenang
dan lengang yang hendak disuguhkan, terutama kepada diri pelukis, juga kepada
masyarakat penikmat lukisan. Dalam hal tersebut, pelukis menempatkan tujuan
ataupun hasil akhir sebelum proses pembatinan objek bergumul di dalam diri
mereka. Di titik ini ada keganjilan yang dipetakan oleh Sanento Yuliman dalam
tulisannya, yang berasal dari kerja pelebihan dan pembuangan elemen objek, yaitu ; ‘Menghilangkan
jejak peradaban modern (tiang listrik, bangunan pabrik), memindahkan pohon,
semak-semak, menyusun ulang kondisi objek lukisan’.
Setelah membaca mengenai
proses pelesapan kultur cita rasa Eropa dalam seni lukis pemandangan alam, maka
tumbuhlah beberapa endapan pertanyaan yang saling berkejaran. Endapan tersebut bergerak dari fenomena perburuan
para pelukis terhadap objek-objek alam yang tenang dan sepi, menuju pertanyaan mengapa
mereka harus mengurangi elemen-elemen peradaban (tiang,bangunan pabrik) dalam lukisan mereka. Apa yang menyebabkan
kerja pengurangan tersebut harus dilakukan, apa kondisi sosial-politik yang
sedang terjadi di balik motif-motif melukis yang mengurang-ngurangi tersebut.
Mengapa kondisi alam yang seadanya harus dilesakkan lebih indah lagi, melebihi
apa yang sudah ada di hadapan mata. Apa tujuan-tujuan akhir dari proses kerja
menghindari yang kusam dan kumal tersebut, mengapa kekusaman dan kekumalan
tidak diperbolehkan hadir di dalam lukisan-lukisan mereka.
S.Sudjojono : yang
membelot dari tatapan objek
Bekas-bekas torehan cat yang
kotor harus segera diperhalus agar tidak menyisakan jejak kumal di Kanvas. Mas
Pirngadi, guru lukis S.Sudjojono terheran pada pilihan melukis S.Sudjojono yang
kasar,tegas dan coreng-moreng, dirinya melerai kondisi batin S.Sudjojono ketika
sedang bertatap-tatapan dengan objek. Mas Pirngadi berusaha masuk untuk
merapihkan kecamuk sapuan cat Sudjojono, menurutnya lukisan tetaplah merupakan
produk publik yang harus sedap dipandang mata, mengasingkan penikmat dari
keramaian serta menyuguhkan tamasya keelokan. Akan tetapi S.Sudjojono
berkeyakinan lain, menurutnya pelukis harus-lah dibebaskan dari beban
pengungkapan ketelitian objek, sebab yang harus terjadi adalah pergumulan intim
antara pelukis dengan objek yang dilukiskan. Artinya ada degup dan cekaman dari
dalam diri pelukis yang juga ikut hadir bersama objek lukisan.
Mendahulukan proses yang
bergolak di dalam batin artinya tidak memaksudkan pengindahan hadir sebelum
kerja pengendapan berlangsung. Jika yang terjadi di dalam diri adalah gelora
keasyikan, indah juga fantasia, maka cipratan yang terungkapkan di atas kanvas-pun
adalah lompatan-lompatan imaji yang riang dan penuh suka cita, namun jika apa
yang mendidih di dalam diri ketika mengendapkan objek yang ditatapnya adalah
kemurungan dan kegelapan, maka lesakan kuas yang tersapu pun menumbuhkan apa
yang sudah menggelegak sebelumnya. Pada S.Sudjojono proses menatap tidak hanya
menjadi sekedar memindahkan, namun menatap juga berarti menyimpan dan
mengendapkan, maka kredo S.Sudjojono yang terkenal, yaitu ; ‘jiwa ketok/jiwa yang tampak’ adalah
hasil dari penyerapan pengalaman diri pelukis pada apa yang ditatapnya, sehingga
pelukis tidak hilang dan lenyap oleh tatapan objek, namun pelukis membahasakan
ulang objek yang diendapkannya melalui desakan/dorongan yang mempribadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar