Latest News

Korosi Jawa dan Pola Hanafi Membaca Perubahan

Korosi Jawa dan Pola Hanafi Membaca Perubahan
Oleh Riyadhus Shalihin

Seingat saya hingga saat ini, saya tidak memiliki kemampuan pengukuran yang akurat, sejak kecil tradisi mengolah skala pada ruang maupun kalkulasi optis atas apa yang berada di sekitar tubuh - tidak cukup baik.  

Saya ingin membacanya terbalik dengan apa yang saya saksikan pada aksi performans Hanafi di sela kegiatan diskusi pra-pameran ‘Pintu-Belakang | Derau Jawa’ – ‘Apa Itu Jawa’, yang bertempat di Kaldera, Bogor. Aksi Hanafi yang membenturkan satu tongkat di tangan dan satu tongkat di tanah –merupakan satu dari banyak keahlian organis-tubuh yang turut membentuk biografi artistik
Hanafi, terutama tentang pengalaman tubuh dan keruangan, yang hadir pada karya-karya senirupa-nya, baik pada karya lukis, instalasi maupun skenografi. Tapi, sebenarnya apa yang menyebabkan kepekaan tubuh dan ruang seseorang dapat terdidik dengan baik, apakah pengaruh lanskap kultur yang berada di sekitar kita – juga berimbas pada tingkat pemahamannya dalam membaca ruang. Misalnya, saya sendiri, yang tidak tumbuh dengan latar permainan tradisional semacam itu, takjub sekaligus menyadari sebab hilangnya kepekaan dan sensitifitas daya ukur dalam diri saya.


Melalui jejak kultur yang dialami oleh tubuh seseorang, dan yang berserak di sekitar dirinya-lah, yang pertama-tama akan menuntun saya dalam usaha membaca berbagai pola kerja Hanafi (pengalaman keruangan yang jauh berbeda dengan saya dan juga mungkin dengan generasi saya) beserta karya-karyanya.



warisan yang bergerak di sekitar tubuh

Aksi performans yang lazim disebut permainan ‘benthik’ tersebut membutuhkan kecekatan tubuh sekaligus pengindraan terhadap ruang secara bersamaan, Hanafi dibesarkan dalam kultur kinetik semacam itu. Sebuah kebudayaan bermain masa kecil yang tersebar di beberapa daerah Jawa Tengah maupun Jawa Timur.

Apa yang terjadi di dalamnya sudah mampu memetakan banyak hal, tentang jejak kinetis maupun keruangan yang tumbuh darinya, antara kepekaan menghitung ruang – lompatan kayu yang meloncat dan ketepatan memukul tongkat dengan tongkat lain yang lebih panjang. Bagaimana keputusan harus dibuat dengan cepat, dan dalam kecepatan tersebut mata dituntut mampu mendokumentasi berbagai benda dengan jeli juga cepat—memukul tongkat kecil yang berputar di udara, melihat sasaran dimana tongkat bisa terjatuh, serta tidak tertangkap oleh lawan sebagai syarat kemenangan permainan.

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana cara kerja mata, tubuh dan logika dipakai bersamaan, dalam sebuah tensi permainan yang sangat taktis. Sebuah biografi kultural yang bisa jadi memberikan semacam impuls kepekaan intuitif kita atas ruang: respon akan gejala skala yang terus bergerak, dari diam – memukul – lari, hingga kemudian diam kembali.

Beberapa permainan lainnya yang ada di Jawa, hampir selalu melibatkan ruang sebagai dasar kerjanya, sederhana secara material namun memfungsikan seluruh aspek kinetik tubuh. ‘Gobak sodor’ misalnya, selain mengolah kepekaan ruang – juga memberikan kita imajinasi tentang politik posisi, bagaimana cara/jurus menembus skema lawan, menghindar,berkelit – hingga memasuki teritori politisnya, di pintu belakang. Dari permainan ‘Gobak Sodor’ -ini saya memiliki kesempatan untuk memiliki pintu dalam membaca karya-karya Hanafi pada pameran Pintu Belakang | Derau Jawa. Pintu sebagai medium untuk keluar – masuk, pulang-pergi, perjalanan dan kepergian, juga pintu sebagai biografi seorang di dalam rumah dan seseorang di luar rumah.

Pada karya instalasi ‘Demografi Bakiak dan Kereta Bayi’ misalnya, Hanafi menjejerkan satu persatu bakiak dengan nama-nama Jawa, saling berdempet-sesak di atas materi tembaga berbentuk separuh piramida. Bakiak tersebut seperti membuat bentuk di atas bentuk, menempel seperti kerumunan kutu. Semua bakiak tersebut berjalan ke arah yang sama, menuju arah langit. Namun di ujung instalasi, hanya tersisa satu bakiak saja. Vertikalitas bakiak yang bisa menjadi transenden dan misterius sekaligus, satu garis perjalanan waktu pada manusia ketika menemui batas akhir, dimana manusia akan berjalan sendiri-sendiri.

Bakiak dipakai oleh orang-orang jaman dulu di Jawa, untuk keluar rumah dan mengalami hidup bermasyarakat. Di beberapa desa di Jawa, bakiak masih digunakan sebagai alas kaki untuk pergi ke masjid. Bakiak tidak hanya sebagai alas kaki tetapi juga menjadi instrumen sosiologis maupun spiritual. Jika mengenakan bakiak, berarti seseorang memilih beribadah bersama, tidak beribadah sendiri di dalam rumah. Hubungan relasional tersebut ditandai dengan kerumunan bakiak yang menggunduk di dasar instalasi – lalu berkurang satu-persatu, hingga tersisa satu bakiak di ujung dinding instalasi. Nama jawa-lama seperti ; ‘sastro jambul’, ‘tukiyem’, ‘waluyo’, ‘paijo’, ‘sukimin’, ‘samijem’, ‘wakijan’, dan ‘wagirah’ sengaja dihadirkan untuk mengatakan beberapa hal sekaligus. Altar bagi kepunahan segala yang berlalu, dan dengan karat sebagai penanda waktu.

Sementara pada lukisan ‘Kereta Bayi’ yang berlatar gelap, hadir berbagai imajinasi atas pembengkakan jumlah penghuni pulau Jawa. Hanafi memilih kereta bayi sebagai penanda kelahiran, latar gelap menjadi ideologis terhadap kondisi sosial Jawa dengan bayang-bayang teknologi kelahiran. Dimana penggunaan kereta bayi telah menghilangkan praktik tubuh terintim antara ibu dan anak dalam tradisi menggendong /menimang.



Dalam tradisi Jawa, menggendong,menimang ataupun membuai, bertujuan selain untuk mengamankan bayi, juga untuk menciptakan relasi intim antara ibu dan anak. Dalam proses tersebut anak mengalami keterikatan kuat secara fisik maupun emosional dengan ibunya. Inilah yang kemudian membentuk karakter anak-anak Jawa, dan mungkin juga Hanafi sendiri terhadap ibunya. Tampak misalnya dalam beberapa karya lukis/instalasi Hanafi di pameran ‘Oksigen Jawa’ (2015), yang memunculkan narasi tentang kedekatan Hanafi dengan ibunya, yang kali ini akan kita temui melalui narasi-narasi di sekitar pintu belakang.

Ibu–ibu di Jawa biasanya hanya menggunakan ‘jarik’ (semacam kain bermotif batik) untuk menggendong anak kecil sembari bekerja di dapur, atau di depan tungku masak. Namun kehadiran kereta bayi, telah menjadi alat yang melanggengkan modus kesibukan wanita karir, yang ditandai dengan banyak kegiatan, sehingga memerlukan alat yang membantu mobilitas mereka. Sementara tradisi buaian, yang masih dapat kita temukan pada beberapa kampung, di jawa ataupun di luar Jawa. Masyarakat Tapanuli misalnya, menyebut kain gendong sebagai ‘Parompa’ atau ‘Ulos Ragi Hotang’. Kain tersebut sebelum dipakai untuk menggendong diberi ‘jampi-jampi’ untuk melindungi sang bayi. Di Wamena, tepatnya lembah Baliem (Papua) mereka menyebut kain gendong sebagai ‘Noken’. Dan dalam kultur Sunda, dimana saya dibesarkan, kain gendong sendiri disebut ‘Samping’, dan kegiatan menidurkan bayi sendiri disebut ‘dipepende/memende’.

Relasi tubuh dan tubuh antara ibu dan bayi yang ditimang/digendong dan bayi yang diletakkan di kereta, menjadi berbeda. Tubuh bayi yang disentuh ibunya, membuat sebuah kepekaan dan keterikatan yang lebih dalam. Memori intim atas tubuh ini hanya terekam oleh bayi yang mengalami digendong ibunya semasa kecil. Kita dapat membaca lukisan kereta tanpa bayi sebagai sebuah monumen kematian memori tubuh, dimana tubuh bayi masakini telah kehilangan akses terhadap hubungan-hubungan maternal di dalam keluarga.

ekologi kebendaan masyarakat jawa

Efek dari peralihan sistem agraris ke dalam sistem industri ditandai oleh Hanafi pada salah satu seri lukisan ‘Photo Copy Online’, dimana Hanafi melukiskan alat bajak sawah tradisional ‘garu/weluku’, dengan tanpa pembajak dan kerbau bajak-nya. Melalui lukisan tersebut, Hanafi menandai retaknya sistem pertanian lokal-pada masyarakat agraris jawa, dengan memposisikan ‘garu/weluku’ sendiri, di antara bayang-bayang sapuan cat hijau dan cokelat sawah.

Kepercayaan Jawa yang menciptakan intimitas sosial, tidak hanya dibuat bagi mereka yang berada di dalam rumah, warga desa, ataupun antara ibu dan anaknya, tetapi juga sampai pada tingkatan kerja terdekat antara manusia dan hewan.

Kerbau sebagai hewan ternak yang juga tenaganya digunakan sebagai objek/alat/medium bagi operasi kerja (membajak sawah), dalam pola gunungan wayang misalnya, dirinyapun dihadirkan sebagai salah satu elemen kesatuan hidup, yang saling menyempurnakan satu sama lain. Pada gunungan wayang purwa, gedong, kruci, golek maupun suluh terbaca lingkar interaksi terus menerus antara kayon (manusia), tanam tuwuh (tumbuh-tumbuhan) dan kewan (hewan).

Hewan, yang juga ditempatkan sebagai salah satu entitas kosmis kehidupan harus dihormati sebagai bagian dari sikap menjaga siklus mistik segala yang ada di atas bumi. Kepercayaan kejawen menyebutnya dengan sikap memayu hayuning bawana, antara jagad rame (manusia dan dunianya) dan bawana (tanaman, hewan, ladang). Sebuah kepercayaan yang melarang penganutnya berbuat semena-mena terhadap yang ada di luar dirinya, sebab melalui yang ada di luar dirilah, manusia hidup dan mencipta peradaban.

Laku etis ini, bahkan hadir dalam tingkat spiritualitas kerja, antara manusia dan hewan, misalnya melalui tradisi sesaji di jum’at pahing yang mempercayai bahwa kerbau memiliki ‘danyang-danyang’ yang melindungi mereka agar kuat membajak sawah, juga tradisi penindikan atau ‘tendok’ pada umur 7 bulan sampai 1 tahun, pada bagian hidung dalam kerbau, serta warisan nyanyi-nyanyian dari Sunan Kalijaga yang memanjakan kerbau seperti ; ‘gendhing kebo giro’, ‘palaran’, ‘uyon-uyon’, dan ‘mat-matan’, serta berbagai ‘langgam shalawatan jawa’ lainnya. Supaya ketika sedang membajak, kerbau menurut dan bekerja dengan baik. Namun, di bawah rencana besar perindustrian dan dengan kode-kode percepatan produksinya, peralihan dari kerbau ke traktor sekaligus mematikan mata rantai kehidupan dari sawah itu sendiri.

Pada tradisi bajak sawah yang digarap oleh kerbau, umumnya menghasilkan tindihan tanah yang lebih intensif, rata dan mendalam. Melalui kotoran kerbau yang terinjak-injak, menghasilkan pupuk alamiah, hasil asimilasi asam tanah dan kotoran kerbau. Bajak sawah melalui ‘garu/weluku’ juga menghasilkan efek ekonomi di luar lingkaran sawah-pembajak-garu dan kerbau. Tanah yang sehat karena kotoran kerbau, menyebabkan suburnya jumlah cacing tanah yang disukai oleh lele/belut, maka tidak heran pada malam hari setelah para pembajak beristirahat, para pemburu lele/belut akan berkeliling di sepanjang sawah – menangkapi dengan leluasa lele/belut yang bersembunyi di balik sela-sela selokan irigasi. Lele dan belut biasa dimakan para petani. Seiring pergantian medium bajak dari ‘garu/weluku’ ke traktor, sistem ekonomi yang ada di sawahpun menjadi tertutup, para pemancing lele/belut kehilangan budaya makan bersama dengan belut dan lele. Tidak adanya kotoran kerbau, membuat tanah keras dan kehilangan daya serapnya terhadap air.

Faktor kesuburan tanah kemudian bergantung pada pupuk buatan (kimia) yang semakin memperburuk kualitas tanah. Efek panjang dari sistem mata rantai tersebut adalah terputusnya hubungan manusia dengan alam yang mengelilinginya. Dengan kata lain, produktifitas menjadi kata yang membayangi semakin jauhnya hubungan manusia dan alam. Waktu bajak memiliki siklusnya tersendiri dalam kepercayaan masyarakat Jawa, melalui ajaran ‘wiwit jelang panen’ yang mewariskan etika dan ajaran waktu untuk membajak. Membajak tidak boleh dilakukan pada malam hari, dan pada saat situasi alam tertentu. ‘Bajak Singkal’ merupakan alat bajak tertua yang gerak kerjanya cukup lambat tetapi detail pada kualitas serta ramah-ekologis.

Melalui lukisan ‘Photo Copy Online’ lainnya, saya mendapatkan intensi Hanafi atas politik kebendaan menjadi kongkrit, cara kerja yang juga hadir pada ilmu arkeologi, yang mengurai jejak-jejak materialitas kebudayaan manusia, baik yang fungsional sehari-hari (piring, garpu, pakaian), ataupun kebutuhan tersier (perhiasan,alat-alat kecantikan/kosmetik) dalam satu kajian kesejarahan – yang tidak pernah lepas dari lilitan politik, yang juga ikut menciptakan kehadiran benda tersebut. Pada Hanafi kelampauan pada benda, diberikan sejarah dan pengalaman politis-nya lagi. Sejarah dari narasi-narasi kecil di sekitar benda keseharian, yang justru pada kehilangannya-lah, Hanafi sedang mempersoalkan gempa kultur di sekitar kita. Dari peristiwa semakin langkanya perhiasan ukir maka kebudayaan plastik dan instan-pun mulai masuk dan merebut ketekunan mengolah pada tubuh kita, dan dari kehilangan kriya tenun/sulam pada budaya membatik/’canting’, kejelian tubuh kita akan selusur rumit atas berbagai masalah hidup-pun perlahan memudar dan hilang.

Hanafi tumbuh di tengah-tengah suasana kerajinan tangan, di mana setiap benda memiliki ahli/’empu’-nya masing-masing. Suatu mata rantai lain yang menghendaki simbiosis kerja yang juga ikut membentuk relasi ekonomi antar sesama pengrajin. Melalui satu intensi produksi buku saja, misalnya; pengrajin kertas, tukang cat, tukang gambar, hingga tukang jilid – berkumpul bersama dalam sebuah sistem kerja berdasarkan kekerabatan, di mana roda ekonomi bergerak melalui modus rangkai-merangkai, dalam satu jalinan produksi yang berlapis. Pola ini mengenal dua alur dasar, yaitu ketersediaan material dari para penyedia bahan (batu , logam, kain/bahan, kayu, kapur, tembaga, emas) dan eksekusi teknis oleh para ahli-nya (batu; pemecah batu, besi; pandai besi, kapur; pengrajin batu kapur, bahan/kain; perajin tenun, batik, penyulam, tembaga ; tukang alat tembaga, emas ; tukang perhiasan emas). Sebuah sistem terbuka, yang mempertemukan banyak ahli dalam satu lalu lintas ekonomi terus-menerus, demokrasi kerja dalam strukturnya yang paling sederhana.

Pabrik telah mengubah sistem kerja mutualistis tersebut. Modernisme-pun telah membuat semua keahlian dan keterampilan alamiah yang dimiliki manusia Jawa semakin punah.

Jika ini adalah konsekuensi pergeseran orientasi produksi, pertanyaannya adalah apakah konsekuensi tersebut akan dilihat  hanya sebagai sejarah yang terberi saja, ataukah memang ada korupsi politis atasnya, yang merampas dan mematikan entitas sebelumnya dengan ataupun tanpa dalih kuasa. Benda, kebendaan dan penciptaan atas benda ketika dibaca melalui relasi kuasa, menjadi kronis, terutama melalui peradaban benda-benda buatan tangan, yang kini telah hilang dari pemakaian sehari-hari kita. Apa makna benda-benda tersebut bagi sebuah kebudayaan, dan adakah yang ikut lenyap, di luar lenyapnya benda itu sendiri.

Lihat instalasi ‘Time Illusion’ dengan 28 setrika arang (material besi-berkarat) yang diinstal berjajar setengah lingkaran menyerupai bulan sabit. Dislokasi dan penempatan materi setrika yang tidak wajar, seperti jam dinding yang terpotong tersebut, memberikan impresi tentang kerapuhan waktu. Bisa kita korelasikan dengan gerak menyetrika yang cenderung seperti menimang. Tanpa kabel, setrika arang digerakkan ke atas dan mengayun ke permukaan baju. Instalasi ini memiliki karakter yang memberikan kepada kita imajinasi tentang gerak stakato pada film, melalui impresi fotografis ‘stop-motion’ / ‘frame by frame’. Setrika seakan bergerak seperti bandul, lincah dan sulit tergenggam, juga dengan panas yang tidak bisa diketahui suhunya. Beda misalkan kalau kita bandingkan dengan setrika kabel yang dilengkapi dengan pengukur-thermostat. Kegiatan menyetrika menjadi lebih praktis, cepat dan terukur, sedangkan pada setrika arang, dibutuhkan waktu yang lebih lama, keuletan dan kesabaran prosesi. Dari bagaimana penyetrika harus mempersiapkan dan membakar arang, sampai pada mengatur suhu secara intuitif, menambah kurang jumlah arang, hingga mendapatkan temperatur yang sesuai, tidak membakar baju. Keterlibatan tubuh memiliki porsi yang cukup besar pada kerja mengalami sifat arang. Kepekaan tubuh kita atas waktu, kesabaran mengalami ruang dan proses kerja yang tekun, kini terkikis oleh penemuan-penemuan teknologi praktis. Waktu tidak lagi linier dan ada dalam tubuh kita, waktu menjadi asing.

nandur pari jero

         Mengapa Hanafi banyak memilih besi yang sudah berkarat, pada karya-karya instalasinya kali ini, seperti instalasi sumur yang mengerucut tinggi ke atas, juga patung ajisaka yang berfigur tubuh lelaki dengan kepala terbalik, piramida demografi bakiak dan kereta bayi, serta penampungan besar berpuluh helm-baja tentara. Pengalaman seperti apakah yang sebenarnya tersimpan pada karat, baik pada dirinya sendiri, maupun atas apa yang berlangsung padanya, situasi keruangan apakah yang bisa diuraikan oleh karat.

Melalui medium karat, konsepsi waktu dengan segala transisi dan konflik di luar diri, menemui situasi kongkritnya, dan karat sebagai efek pemburaman atas distorsi cuaca (hujan, panas-terik, lembap), obituari  ketidakmungkinan kekekalan pada apapun. Karat, sebagai hasil  korosi alam, membawa kita pada kenyataan siklus kehidupan, tentang pembusukan, pelapukan dan kematian pada akhir segalanya. Melalui noise tersebutlah, justru memungkinkan kita untuk memasuki pengalaman empirik atas waktu: ‘Nandur Pari Jero’.






                                                                                            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

peristiwaruang Designed by Templateism.com Copyright © 2014

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.