amnesia arsip dari fiksi atas
fiksi
Oleh
Riyadhus Shalihin
Etnografer
dan musikolog Indian, Francis Densmore (1867-1957)
menemukan bahasa lain dari musik, yaitu
; arsip suara. Ketika dirinya merekam suara kepala suku Indian melalui
alat musik Gramafone, dirinya tidak hanya sedang mencatat sejarah musik, tetapi
dirinya-pun telah merekam arsip sebuah bangst.
Arsip yang dihadapi oleh Francis
Densmore merembet pada berbagai hal, baik itu masalah kuasa kolonial antara
kelas Amerika dan kelas Indian, isu ras, perbudakan hingga konflik etnisitas.
Melalui teks suara yang dikategorisasi dalam jenis musik etnik tersebut banyak
terjadi lapis pembacaan lain, pembacaan multi-layer dan rentan akan tegangan
kekuasaan. Musik sebagai seni tidak lagi berdiri sebagai teks-musik, namun
dirinya sudah disusupi oleh narasi-narasi politik yang juga hadir bersama dirinya.
Pertanyaannya justru mungkin harus kita baca dari skema besar sejarah seni itu
sendiri, yaitu ; adakah jenis seni yang steril dari narasi politik.
mantra
dan jimat-jimat 1965
Yang terjadi pada ‘Museum Temporer ; Rekoleksi Memori’ (7-12) Desember 2015 di Taman Ismail
Marzuki justru adalah politik narasi. Kurator pameran Joachim Naudts dengan
sadar melakukan studi dan riset terhadap peristiwa-peristiwa 1965, namun
sekaligus membuat politik kepengarangan terhadapnya, melalui beberapa karya,
seperti ; ‘Wahana Loebang Maoet’ -
instalasi video kanal ganda – Karya ;
Yovista Ahtajida, ‘His (story) (a)
History’ – Video Instalasi - Karya ; Kiki Febriyanti dan ‘Untittled’ – instalasi –Karya ; Jompet
Kuswidinanto. Arsip sejarah yang dikuasasi oleh politik orde baru tersebut
ditata ulang melalui praktik penciptaan museum.
Museum yang seharusnya dijadikan tempat
berakhirnya sebuah arsip, dibekukan dan dijadikan data akhir terhadap publik,
justru dipertanyakan, diolah ulang dan dimaterialisasi. Sejarah pun menjadi
kongkrit, membenda dan terindrawi, tidak lagi abstrak dan tak bisa diganggu
gugat. Pada ‘Museum Temporer ; Rekoleksi
Memori’ museum justru menjadi anti-museum, sebab padanya segala yang sudah
berakhir - dibuka dan diurai kembali, segala yang terfiksasi di-defiksasi.
Museum Temporer-pun menjadi jauh dari sterilisme museum pada umumnya, museum temporer justru menghadirkan ketergesaan penataan, darurat dan mengeliminir rasa aman pada ruangnya. Museum menjadi situs kekaryaan sekaligus medan penghadiran bahaya bagi pengkarya maupun yang menyaksikan karya. Praktik museum ini dikerjakan oleh beberapa arsitek yang banyak terlibat dalam projek berbasis arsip, seperti ; Stephanie Larassati, Gosha Muhammad dan WEN Urban Office. Praktik arsitektural yang mereka kerjakan menempatkan ruang pameran sebagai objek di atas objek, yaitu ; lapangan terbuka Taman Ismail marzuki sebagai objek dan Museum yang mereka ciptakan-pun juga sebagai objek.
Adakah hubungan antara lagu ‘Genjer-Genjer’-nya – Lilis Suryani dan Benedict Anderson.
Pada tahun 1987, Benedict Anderson mempublikasikan artikel yang berjudul ‘How Did The General’s Die’ dalam Jurnal Indonesia, isi tulisannya membeberkan kebohongan di seputar stigma mutilasi 7 jenderal Angkatan Darat di situs Lubang Buaya. Faktanya adalah benar bahwa 7 jenderal tersebut dibunuh melalui tindak penembakan, tetapi tidak ditemukan sedikitpun bukti goresan/luka pada penis, tidak ada bukti pencongkelan pada mata ataupun sayatan di wajah. Isi tulisan tersebut berdasarkan tindak visum et repertum yang dilakukan sejumlah tim forensik dari RSPAD Gatot Subroto, yaitu ; Prof.Soetomo Tjokronegoro (FKUI), dr.Frans Pattiasina (RSPAD), dr.Liem Joe Thay/Arif Budianto (FKUI) dan dr.Ferry Liauw Yan Siang (FKUI). Tindak forensik pada tanggal 4 Oktober 1965 tersebut digelapkan dan disembunyikan oleh Soeharto, demi menajamkan kebencian masyarakat terhadap PKI dan simpatisannya.
kesusastraan video dari
politik editing
Jika
Benedict Anderson membongkar kemapanan dan ketakutan di seputar Lubang Buaya, dalam
karya instalasi video ‘Wahana Loebang
Maoet’,-Yovista Ahtajida justru dengan parodis, bersijingkat di antara
kebohongan-kebohongan Musuem Lubang Buaya, mempermainkan dan
mematerialisasi-nya menjadi wahana permainan yang kitsch, sinis, dan bernuansa
mistik.
Dalam video tersebut terlihat seorang remaja paruh baya dengan make-up berdarah-darah di wajah, mondar-mandir di sekitar bundaran Hotel Indonesia (HI). Dirinya tampak membagi-bagikan selebaran flyer bergambar figur-figur replika patung pembantaian para jenderal, dengan judul ‘Wahana Misteri ; Loebang Maoet’. Figur-figur tersebut dipotret langsung oleh Yovista Ahtajida dari situs Lubang Buaya, lalu didesain ulang ke dalam format undangan mengunjungi taman bermain. Beberapa warga yang berada di Bundaran HI, tampak ingat dengan figur-figur tersebut, beberapa ada yang menertawakan make-up performer, beberapa juga ada yang langsung mengenali lokasi wahana permainan. Performance ini menjadi tindakan penetrasi yang langsung membawa fiksi di sekitar pembantaian para jenderal, ke ruang penjajakan pendapat, dan publik sebagai lapisan yang acak memiliki sifat pembacaan yang cair, performance ini menjadi aksi fiktif atas fiksi, tindakan fiksi dari fiksi.
Masih menggunakan medium seni video, Kiki
Febriyanti memainkan ingatan publik akan sosok yang berada di balik
stigmatisasi panjang PKI dan simpatisannya, yaitu ; Soeharto. Kiki menata ruang videografi-nya
dengan topeng-topeng Soeharto yang sedang tersenyum, sembari menyuasanakan
ruang keluarga untuk menonton, sambil lesehan santai. Di samping televisi
terlihat sebuah celengan ayam, potongan himbauan yang khas orde baru ; dimana
kita harus rajin menabung demi hari tua. Permainan tanda antara ; topeng Soeharto, ruang menonton dalam rumah dan celengan ayam, membawa praktik
distribusi kuasa media dalam rezim Orde Baru sekaligus menertawainya. Kontrol
media dan politik sensor di bawah kepimpinan Soeharto yang begitu ketat menjadi
lucu dan komis.
Video-nya sendiri membawa performer yang
memakai topeng Soeharto dan berseragam siswa Sekolah Dasar (SD) bertanya-tanya
kepada publik, apakah mereka mengetahui siapakah sosok pada topeng, rata-rata
responden yang berusia 14-20 tahun tersebut tidak mengetahui siapakah
sosok tersebut. Ironi yang ganjil dari
kuasa media selama 32 tahun dan ketidaktahuan publik terhadap sosok di balik
kekuasaan tersebut.
Efek
bunyi yang sebelumnya hadir pada serial ‘Java’s
Machine’-nya kini terasa lebih instalatif. Melalui karya ‘Untitle’, Jompet Kuswidinanto mengubah
bunyi yang indrawi menjadi bunyi yang membenda, dirinya menata pisau-pisau dari
berbagai jenis ; dapur,restoran,jagal
sapi,golok tebas hingga pisau pramuka
dalam satu tabel notasi. Pisau-pisau itu lesap masuk ke dalam garis-garis nada berbahan
kayu, dan penonton pameran dapat melihat lekuk
dimensional pisau-pisau tersebut-dari depan maupun samping. Saya ragu,
apakah sebenarnya Jompet Kuswidinanto tidak menghilangkan tekstur bebunyian
tersebut, mungkin saja dirinya menyimpan ruang bebunyian itu melalui proses
menatap diagram pisau, dimana teks di luar benda hadir sebagai bayangan ingatan
pasca-teks. Seperti juga sebenarnya yang terjadi dalam kerja kurasi ‘Museum Temporer ; Rekoleksi Memori’, mempermainkan
selebaran teks di luar pameran, mempertajam juga memiuhkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar