AGEN
PEMODERNAN DAN PURWA-DRAMATURG DALAM TEATER INDONESIA
Oleh Riyadus Shalihin
Teater sudahlah merupakan
media sendiri, yang memuat banyak piranti komunikasi artistik untuk terjadinya
penciptaan ruang antara pertunjukan dan penonton, namun apakah teater hanya
sebatas dan berakhir setelah pertunjukan saja.
Penulisan, kritik kemudian
pengarsipan atas teater adalah sebentuk media lain dari teater sebagai media,
media yang tujuannya untuk mendokumentasi dari teater sebagai media pertunjukan
menjadi teater juga sebagai objek sejarah. Sebab teater sebagai seni yang tercipta
dan hilang bersamaan pada saat terjadinya pertunjukan adalah objek seni yang
goyah dan mudah diragukan kehadirannya, berbeda misalnya dengan seni rupa, dan seni
film yang ketika tercipta, dirinya sudah hadir juga lengkap sebagai sejarah
atas dirinya, tidak dengan teater ataupun tari yang lenyap pada saat dirinya
mencipta. Lalu pertanyaannya kemudian apakah yang dapat meyakinkan kehadiran
kesejarahan teater, selain ingatan dari para penonton yang hadir pada saat
pertunjukan.
Media untuk teater sendiri dibutuhkan pada saat ini, media dalam arti kecil alat komunikasi untuk menyiar dan mendokumentasikan teater, media untuk mendistribusi berbagai peristiwa yang terjadi di dalam teater kepada publik luas, baik yang hadir di dalam maupun yang berada di luar pertunjukan. Teater akhirnya tidak berakhir menjadi internal untuk dirinya saja, namun menjadi pembacaan atas apa yang berlangsung atas dan di sekitarnya, terbuka untuk dibedah atas yang ada padanya juga atas apa yang bergerak di luar dirinya.
Teater mengalami degradasi frekuensi
penulisan, jika dibandingkan dengan gerak teater pada tahun 1970-1980 ketika
para sutradara teater juga adalah mereka yang menuliskan kerja teater-nya. W.S
Rendra yang menulis drama dimana kerja penyutradaraanya, seringkali merupakan
kerja mementaskan drama yang ditulisnya, yang juga sama dengan Arifin C Noer,
selain menyutradarai drama-drama yang ditulisnya, Arifin C Noer juga menuliskan
pikiran-pikiran teaternya dalam sebuah antologi esai berjudul ‘Teater Tanpa Masa Silam’ terbitan DKJ
(Dewan Kesenian Jakarta), ataupun Putu Wijaya yang menulis drama, menyutradarai
dan mengkonsepsi kerja teaternya dalam sebuah manifesto atistiknya yang
terkenal ‘Teater dari Teror Mental’.
Selain juga pada era-1970-pun hidup beberapa nama yang lebih terkenal dengan
karir-nya sebagai peneliti teater, seperti Asrul Sani yang juga ikut membentuk
iklim drama realis pada perkembangan teater Indonesia dengan kerja
penerjemahannya atas berbagai drama realis di Indonesia, beberapa nama dramawan
seperti ; Anton Chekov, Tennesse Williams, August Strindberg, Henrik Ibsen
diterjemahkannya, selain juga Asrul
Sani-lah yang pertama kali memperkenalkan metode seni peran realisme melalui
penerjemahan teori seni peran dari Constantin Stanislavsky, hingga Richard
Bolelavsky, dimana naskah-naskah drama
dan teori seni peran terjemahan Asrul Sani menjadi pengantar pada studi teater
di ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia) di Jakarta, dimana Asrul Sani juga
merupakan salah satu pendirinya.
Asrul Sani dapat dikatakan
seorang agen pemodernan teater di Indonesia, melalui teori-teori dan drama
terjemahannya.
Setelah Asrul Sani, lahir
juga penulis dan peneliti teater seperti Bakdi Soemanto, seorang sarjana sastra
dari UGM yang menuliskan karir teater W.S Rendra, serta juga berperan penting
dalam memperkenalkan konsep ‘Teater
Absurd’ melalui studinya terhadap naskah-naskah drama Samuel Beckett,
terutama ‘Waiting For godot/Menunggu
Godot’.
Praktik penulisan dan
pengarsipan kerja teater banyak dilakukan oleh mereka yang berasal dari
disiplin sastra, selain Bakdi Soemanto, juga ada penyair dan esais, Goenawan Mohammad yang memikiran teater
melalui salah satu esai panjangnya tentang teater ‘Beberapa Pembelaan Untuk Teater Mutakhir Di Indonesia’ dalam
sebuah buku ‘Seks, dan Sastra Untuk Kita’,
dimana melalui esai tersebut istilah ‘Bip-Bop’
dan ‘Teater Mini Kata’ atas
pertunjukan Bengkel Teater Rendra dipublikasi. Di Kota Bandung sendiri – Saini
KM menjadi rujukan ensiklopedis atas berbagai unsur intrinsik kesusastraan pada
drama-drama Eropa, namun juga Saini KM, mengajukan pentingnya kehadiran elemen
kelokalan dan ritus pada pembentukan identitas teater modern Indonesia, yang
juga ikut membentuk logika interkulturalisme STB (Studiklub Teater Bandung)
pada beberapa pemanggungan atas drama barat yang disutradarai oleh Suyatna
Anirun. Selain juga kehadiran Jakob Sumardjo yang lebih berposisi sebagai
sosiolog dan sejarawan teater, dengan kerja-kerja penelitiannya pada buku-buku
penting seperti ; ‘Sejarah dan
Perkembangan Teater Modern Di Indonesia’ maupun ‘Ikhtisar Sejarah Teater Barat’.
Bertolak dari disiplin
modern/realisme dari agensi Asrul Sani terhadap teater Indonesia, ataupun
konsepsi teater absurd dari Bakdi Soemanto, pada periode 1980-1990 lahir
Afrizal Malna, yang pertama kali berada di dalam teater dan menuliskan teater
meskipun bukanlah seorang sutradara seperti ; Arifin C Noer atau Putu Wijaya.
Afrizal Malna adalah penulis teks-teks drama pada kelompok Teater Sae di
Jakarta, dengan sutradara Boedi S Otong. Tidak hanya melalui diksi dan
linguistik drama-nya saja Afrizal Malna meraih posisi dalam lingkungan teater
Indonesia, tetapi juga karena bersama-sama dengan Boedi S Otong, Afrizal Malna
melakukan pembacaan teater dari dalam, dan darinya mengkonsepsikan estetika teater,
yang misalnya dibandingkan dengan Saini KM, yang meskipun selalu menuliskan
pengamatannya terhadap setiap pementasan drama dari STB, namun Saini KM tetap
berjarak dan tidak ikut memberi denyut artistik pada pertunjukan STB, Saini KM
lebih menjadi lembaga pengetahuan dari STB, namun keduanya ; Saini KM ataupun
Afrizal Malna yang ikut tumbuh maupun tidak ikut tumbuh dalam denyut artistik
kelompok teater di Indonesia, dapat dikatakan purwa-dramaturg dalam teater
Indonesia. Sebelumnya pertunjukan teater hanyalah lapangan kosong yang dikuasai
penuh oleh sutradara, dalam tradisi ; W.S Rendra Arifin C Noer dan Putu Wijaya,
kini domain sutradara atas pertumbuhan pertunjukan dibagi juga kepada
dramaturg, atau katakanlah mereka yang memiliki perangkat keilmuan atau
pengetahuan atas sastra drama maupun atas isu-isu yang berada di sekitar sastra
drama.
Terentang jauh dari era
WS.Rendra, Arifin C Noer dan Putu Wijaya, Benny Yohanes, seorang sarjana teater
dari ASTI Bandung, adalah pewaris lapangan praktik teater, menjadi praktik ketunggalan
mencipta sekaligus mengkaji, dimana dirinya menulis drama, mementaskan hingga
juga menuliskan kritik atas pertunjukannya sendiri.
Sutradara dan pendiri dari kelompok Teater
Re-publik Bandung ini banyak menghasilkan kritik dan esai teater yang cukup
penting, banyak dimuat dalam kolom Khazanah koran Pikiran Rakyat Bandung,
ataupun dalam antologi esei ‘Melakoni
Teater-50 Tahun Studikulub Teater Bandung’, ‘Diktat Kritik Teater’. Dalam perkembangan terkininya, lahir juga
beberapa penulis dan peneliti teater lainnya, seperti Max Arifin yang
menerjemahkan esai-esai teater Antonin Artaud, seperti ‘Theatre and Its Double, dan esai-esai teater Martin Esslin, juga Nirwan
Dewanto, Adi Wicksono dan Radhar Panca Dahana yang menuliskan pikiran teaternya
melalui beberapa buku, antara lain ; ‘Ideologi
Teater Modern Indonesia’, ‘Homo Theatricus’ dan ‘Dua Teater’, juga Yudiaryani dengan kajian akademisnya atas teater
yaitu ; ‘Panggung Teater Dunia’ dan ‘W.S Rendra dan Karya-Karyanya’ .
Dramaturg dan kritikus
teater adalah dua organ vital untuk menjaga teater agar tidak terperangkap di
dalam dirinya sendiri, keduanya berfungsi sebagai jembatan komunikasi antara
seniman, penonton dan masyarakat agar teater tetap mampu memiliki agenda sosial
dan memiliki posisi dalam proses-proses perubahan yang hadir di tengah-tengah
masyarakat. Keduanya berpihak kepada masyarakat, melalui dramaturg, teater
diusahakan agar tetap memiliki kegentingan, sehingga teater tidak menjadi
sekedar uji coba kesenimanan tetapi juga menjadi laboratorium sosial atas apa
sedang bergerak dalam arena ekonomi maupun politik kewargaan. Sedangkan kritikus
teater mengusahakan komunikasi yang intim atas apa-apa yang terjadi di atas
panggung juga menjadi milik masyarakat, mencairkan dan menterjemahkan
pertunjukan melalui tulisan-tulisan kritiknya, sehingga mampu terbaca oleh
publik luas, dimana pertunjukan juga ketika selesai dipentaskan menjadi dan
dimiliki oleh masyarakat, sehingga ketika apa yang terjadi pada masyarakat dan
apa yang bergerak pada pertunjukan tidak memiliki keintimannya, saling berdiri
sendiri, kritikus teater memiliki fungsi menelaah apa-apa saja yang hilang dan
luput atas keduanya.
Sedangkan dramaturg sendiri
kini dalam perkembangannya tidak hanya sebagai kerja ensiklopedis atas
pengetahuan dan kaidah-kaidah intrinsik kesusastraan drama, dalam esainya ‘Fungsi Dan Tugas Dramaturg dalam Seni
Pertunjukan Indonesia’, pada buku ‘Peristiwa
Teater’, Saini KM mengurai bahwasanya dramaturg seharusnya menjadi sebuah profesi aktif yang memiliki dan
bekerja di bawah gedung pertunjukan, concert
hall dan gedung teater sendiri, seperti juga kurator seni rupa yang bekerja
di bawah museum, galeri nasional maupun galeri perseorangan, menjadi programmer
atas sebuah gedung pertunjukan yang mengagendakan praktik konservasi dan
eksperimentasi teater/seni pertunjukan, mengajukan lagi pentingnya mementaskan
teks-teks kanon dari William Shakespeare, Henrik Ibsen sambil sekaligus
mendukung pertumbuhan avant-gardisme
teater, dance-theatre, teater post-modern, ataupun devise-theatre di sisi yang lain.
Selain juga melakukan kerja
penelitian misalnya untuk mempersiapkan momen kelahiran tokoh-tokoh seni pertunjukan,
seperti ; Slamat Abdul Sjukur, Martha Graham, Claude Debussy ataupun Henrik
Ibsen, yang dimana pada saatnya nanti dramaturg akan mendetailisasinya menjadi
kerja festival, mengundang beberapa seniman yang dikurasi olehnya untuk
terlibat dalam sebuah kerja festival, misalnya mengundang beberapa koreografer
kontemporer hari ini untuk melakukan penelitian artistik atas karya-karya tari
Pina Bausch dan mengagendakannya menjadi sebuah Festival Tari.
Dramaturg akan menjadi acuan
agenda, penelitian, maupun keragaman seni pertunjukan yang dimiliki oleh sebuah
kota ataupun gedung pertunjukan, dimana karya dramaturg adalah sebuah festival
bersama, pertunjukan-pertunjukan pribadi, penelitian dan penulisan pada jurnal
maupun pada media massa. Menjelaskan dan selalu mengkoneksikan vitalitas seni
pertunjukan terhadap kota, melalui katalog pertunjukan, press conference maupun pada diskusi-diskusi setelah pertunjukan,
berada di dalam pertunjukan juga di luar pertunjukan, hadir di dalam produksi
teater sebagai rekan pertumbuhan proses dan sebagai lembaga komunikasi terhadap
masyarakat yang berada di dalam teater dan menjadi lapisan sosial atasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar