arkhaisme dari tubuh dan yang melapisi tubuh
Oleh Riyadhus Shalihin
Melalui sarung-lah, Srawung Seni Candi #12 -
di Kompleks Candi Sukuh Ngargoyoso, Surakarta (2016) melampaui arkeologi ruang pertunjukannya. Mempertemukan
jejaring sejarah dari tubuh para pemakainya, juga tentang bagaimana sebuah
pakaian telah berbahasa sebelum pemakainya berbahasa.
Pertemuan seni pertunjukan yang diinisiasi oleh ahli gerak Suprapto Suryodarmo – memberikan kepada kita banyak ruang pembacaan untuk melihat lanskap tubuh tradisi, yang dibayangkan steril - sebenarnya tidak pernah bebas dari kuasa nilai maupun konflik yang bergerak. Sarung yang diikatkan ke pinggang kita, juga adalah alat yang mengikat hubungan mistik pemakai sarung dengan tanah yang diinjaknya, tanah bagi masyarakat jawa dengan religi agraris yang memberi latar bagi pertumbuhan animisme, hindu-budha hingga islam, juga pewarisan antagonisme bagi masyarakat bugis yang memiliki cara untuk menyelesaikan konflik antar kampung melalui pertarungan dua lelaki di dalam sarung hingga salah satu mati.
waktu
di balik pakaian
Sarung pada tubuh tari – Nani Sawitri, adalah
sarung yang membawa kita pada sejarah keislaman dengan narasi tentang wayang
yang melapisi. Melalui motif batik parang yang Nani Sawitri ikatkan, selain
memberi rumah pada kaki-kaki gerak – juga mengisahkan ulang bagaimana strategi
etis Sunan Kalijaga dalam menyebarluaskan agama islam di ruang-ruang
perbatasan, dari Madura, pesisir utara Jawa hingga pelosok kota Cirebon. Sarung
menjadi medium yang melampaui ikatan atas tubuh pemakainya, merentangkan
ingatan kesejarahan – proses akhir dari seluruh rangkaian panjang produksi
kultural.
Melalui tubuh yang terdidik di dalam ruang
ke-keratonan, sarung menjadi moda pewarisan tata gerak yang minim dan intens –
melalui karya ‘nglaku’ - kelompok semeleh dari Solo, dengan komposer ; Galih
Naga Seno dan koreografer ; Dany Wulansari, ruang pertunjukan site-specific di areal Candi Sukuh menjadi
situs rememorial atas kultur ‘nglaku
ndodhok’ yaitu ; berjalan pelan sembari jongkok ketika berada di areal
keraton. Tubuh pun telah menciptakan panggungnya sendiri, dengan gerak kecil
berulang yang menjadi siklus esoterik antara diri dengan apa yang dilewati-nya.
Bebunyian dalam pertunjukan ‘nglaku’ menggetarkan
sesuatu yang dalam dan purbawi di dalam tubuh, melalui vibrasi vokal yang berat
dan melolong, juga denting dari lonceng dan genta gereja – ruang seakan
menafsirkan kembali ingatan-ingatan tua juga kerinduan kita pada hal-hal yang
mitis dan di luar fisik.
Sarung telah menjadi
medium pakaian sekaligus juga kebudayaan, fungsional dan kultural sekaligus,
elitis sekaligus juga menyehari. Hadir pada ; acara peribadatan, perkawinan,
lamaran nikah, menerima tamu di rumah atau sekedar bergadang sambil
menghabiskan malam. Sarung-pun telah menjadi bahasa lintas-gender, bagaimana
sarung-pun tidak hanya dimiliki oleh waktu lelaki tetapi juga oleh waktu
wanita.
Permainan sarung dan
waktu yang hadir pada pertunjukan ‘Nafas
Gunung’ dari Fitri Setyaningsih (Yogyakarta)
– menajamkan ikatan yang kuat antara tubuh wanita dan tanah yang melahirkannya.
Empat orang penari pertama-tama memasuki arena pertunjukan dengan langkah yang
biasa saja, tidak ada koreografi di sana, dan karenanya – penonton-pun bisa
mengalami kehadiran detail demi detail dari apa yang penari kenakan, sebuah
pengalaman yang jarang ditemukan dari tradisi tari yang selalu bergerak ke
sana-ke mari dan jarang menyisakan nafas untuk menatap pertunjukan. Empat
penari tersebut menggunakan kaos hitam polos, dengan sarung di pinggangnya - di
mulut mereka menempel mangkok-cina, menutupi hidung, dengan lilitan kain kebaya
yang digunting, membekukan biografi udara - di dalam dan di luar mangkok. Pada
beberapa pertunjukan Fitri Setyaningsih, tari sebagai stilasi atas dasar gerak
justru dikembalikan ke dasarnya, stilasi diminimalisir – jika tidak dihilangkan,
dan keseharian dari gerak-pun diintensifikasi sedemikian rupa dengan
konsentrasi yang tinggi.
Performativitas gerak
diperhitungkan, dan makna dikurasi melalui kostum & set-prop – yang tidak
hanya berakhir sebagai aksesori, melainkan materi pengurai gagasan. Misal,
setelah empat penari tersebut selesai memasuki ruang – mereka lalu membuka
potongan kain yang melilitkan mangkok-cina di hidung, menaruhnya perlahan di
atas tanah dan mengambil satu kantung gula yang ada di dalamnya, kira-kira
sekitar 1-ons. Keempat penari tersebut lalu duduk dan membuka kemasan plastik
gula, butir-butir gula-pun berjatuhan ke dalam mangkok, menonton pertunjukan
sama juga dengan hening menyaksikan bulir demi bulir remah gula berterjunan ke
dalam mangkok, dan pada minimalitas serta fokus kebendaan yang sederhana-lah
Fitri Setyaningsih membahasakan kerja koreografinya.
Strategi ini lebih
mendekatkan kerja seni performens kepada publik, dan membayangkan bagaimana
pengalaman atas lapisan makna tersebut bisa terkoneksikan dengan kultur yang
mendasarinya, tentang jawa dengan gunung-gunung-nya dan kultur kuliner di
daerah Jawa (terutama Jawa Tengah)
yang banyak menggunakan gula sebagai medium pangan. Rasa manis yang mengental
adalah jejak estetik pada citra lidah masyarakat Jawa, juga pada udara yang
dibekukan di dalam mangkok-cina pada pertunjukan ‘Nafas Gunung’ - Fitri Setyaningsih.
Jawa adalah ingatan
atas yang manis - di luar maupun di dalam pertunjukan, sebuah romantisme dari
nyamannya tubuh yang berdiam di dalam sarung, mencecap gula dan mengalami
kepemilikan atas kebudayaan waktu-senggang.
ibu,
sarung dan mesin tenun
Ari-ari pada beberapa
kebudayaan asli Indonesia, dipecaya sebagai jembatan dari dunia atas dan dunia
bawah, perantara dewa dan manusia. Secara biologis, ari-ari-lah yang
menjembatani keberlangsungan hidup seorang bayi di dalam perut ibu, medium
transportasi makanan dan minuman untuk bayi. Melalui fenomena ari-ari, kita
bisa melihat sejak mula, dimanapun – ibu berperan sebagai induk kebudayaan,
mengandung, merawat, melahirkan lalu membesarkan anaknya.
Bekerja dan merawat
tanah, menjadi etos dari laku para wanita/ibu di kebudayaan tradisi Indonesia,
juga pada beberapa wanita kajang dari Bulukumba-Sulawesi. Tapis dan soket yang
mereka tenun dalam pertunjukan ‘Woman Of
Kajang’, menjadi latar pembacaan atas produksi ekonomi masyarakat tradisi
Sulawesi, juga pembacaan atas peran wanita yang menggenting - hadir di dalam
rumah juga di luar rumah, menghidupi rumah dari dalam dan dari luar.
Pertunjukan yang dikoreografi oleh ; Erna Ningsih, ini merentangkan dua lapis
koreologi-tema yaitu ; di dalam (menenun)
dan di luar (berperang), bahwa
wanita-kajang selain dituntut untuk bisa bekerja secara ekonomi juga aktif
dalam pertahanan dan keamanan suku, wanita adalah kultur atas bumi dan langit
sekaligus ; melahirkan, merawat dan membesarkan anak, mencari nafkah dan
mempertahankan teritori wilayah.
Urgensi wanita pada ruang
arkeologis Candi Sukuh, dengan latar teks mitos maupun kesejarahan Hindu, juga
mengingatkan kita pada peran Dewi Kunti yang menjadi ibu sekaligus istri bagi
kelima Pandawa - dalam legenda Mahabharata. Juga pada Srikandi – seorang
panglima perang wanita dengan dua-konflik yang bersemayam di tubuhnya, dalam
perseteruan maha-hebat Bharatayudha. Wanita dalam teks-teks
Mahabharata-Ramayana selalu berada dalam tegangan posisi, ganjil tetapi
strategis - menggerakan kepada kita imajinasi yang lebih - tentang mereka yang
mengandung peradaban di dalam perutnya.
Melalui tubuh wanita yang menari sambil
membawa segenggam tunas pohon-lah – Srawung Seni Candi #12 dipulangkan ke tubuh
masing-masing. Pertunjukan dari Rumah Tari Sangishu – Lampung tersebut, juga
menjadi pembacaan kembali atas tiga hal yang menggejala dalam Srawung Seni
Candi kali ini, yaitu ; kebudayaan pakaian, kembalinya tari sebagai teks gerak
dan vitalitas posisi wanita pada banyak kebudayaan tradisi di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar