Esei ‘Festival Teater Jakarta – 43, tahun 2015’
: ‘Teater dan Cahaya’
Oleh
Riyadhus Shalihin
Dalam
seni pertunjukan Indonesia, cahaya adalah bahasa atas ruang dan waktu. Pada
wayang kulit ; pakeliran menjadi
medium gambar bergerak yang mengiris antara bayangan wayang dan api obor (damar) dalam satu layar teater. Lain misalnya
dengan pertunjukan longser dari jawa
barat, yang menyimpan siklus sejarah pada api-obornya (biasa disebut oncor), dimana segala peristiwa dimutasi oleh
perputaran mengelilingi oncor. Pada
kedua pertunjukan tersebut (wayang kulit
dan longser), cahaya pertunjukan menjadi bahasa teknis sekaligus juga bahasa
filosofis.
Lalu, apakah cahaya juga menjadi problematika bahasa teater dalam Festival Teater Jakarta – 43, ataukah cahaya hanyalah aplikasi kepengrajinan (craftsmanship) dalam panggung saja. Mampukah bahasa dan kerajinan cahaya terurai dalam kerja artistik festival, ataukah tema cahaya hanya berdiri sendiri dan ditinggalkan sebagai artefak kuratorial. Melalui platform ‘Teater dan Cahaya’, FTJ – 43 (2015) berusaha menyuntuki kembali berbagai elemen intrinsik teater, dengan latar konsep ‘Menata Laku, Menata Panggung’. Yang akan dilanjutkan dengan ‘Teater dan Bunyi’ (2016) dan ‘Teater dan Rupa’ (2017). Melihat kembali dapur domestik teater, entah sebagai gejala nostalgia atau kegelisahan invensi.
ruang pribadi adalah ruang
bersama
Pertunjukan-pertunjukan
dalam FTJ-43 tetap membahasakan bahasa sosial baik dari lingkungan internal
kelompoknya maupun dari lingkungan teks di luar mereka. Dalam pertunjukan ‘Kadung-Kait’ Teater Alamat (Sutradara-Budi Yasin Misbach), sastra drama
digunakan juga sebagai skenografi pengadeganan, dimana plot dan uraian dramatik
terjadi oleh sebab-akibat narasi dan aplikasi artistik terhadapnya. Seperti
juga pada pertunjukan mereka di FTJ-41, 2013 (Lima Pintu), Teater Alamat menggunakan halaman rumah sebagai medan
konflik bagi seluruh alur peristiwa. Berdesak-desakan dengan pabrik,pasar,masjid dan warung yang menjadikan teras rumah
sebagai arena sosiologi yang cair, dimana ruang pribadi akan selalu dibatalkan
oleh modus kekerabatan dan kewargaan.
Arifin
C Noer, masih menjadi referensi sosial-teater. Melalui drama Tengul (Sanggar Kummis) dan Mega-Mega (Teater Tema), Arifin C Noer dimainkan
melalui tubuh-tubuh muda yang bertabrakan dengan teks-teks imaji-puitik, namun
tidak dimodifikasi menjadi tubuh-tegang. Melalui kedua pertunjukan tersebut,
tubuh para pemain menjadi zona keriangan bagi seluruh teks. Sutradara banyak
bermain di antara kemeriahan ruang,cahaya dan tata kostum-yang bersingunggan
dengan medan diksi teks.
Ruang
pribadi yang selalu goyah-pun misalnya hadir dalam pertunjukan ‘Penggali Intan’-Kirdjomulyo dari
Lab.Study Teater, dimana segala peralatan rumah adalah idiom serba mendadak,
semuanya adalah properti darurat yang bisa dipindahkan kapan saja. Atau, pada
pertunjukan ‘Tanda-Silang’-Eugene
O’Neill dari Teater Samudera Indonesia - Sutradara ; Joind Bayuwinanda, dimana
rumah justru menjadi lapangan konflik dari modus ekonomi, dimana ikatan darah
antara ayah,kaka dan adik dibayangi oleh kecurigaan dan hasrat untuk saling
mengokupasi.
Usaha
adaptasi menjadi kerja yang problematis dalam pertunjukan ‘Hamlet’-William Shakespeare dari Teater El-Nama, Sutradara ; Echo
Chotib. Ketika pada akhirnya transkripsi kultural tidak menembus hingga inti
pola teater maupun dramaturgi penceritaan. Ketika transkripsi hanya dihadirkan
melalui fashion ; sarung,golok,peci dan sabuk ala-Betawi, tetapi narasi dan
plot tetap hadir dalam konstruksi linier. Dan, nama-nama seperti ;
Hamlet, Ophelia, Horatio, Gertrude, Kladius, Polonius, Bernando, Rozscen bertubrukan dengan
linguistik tubuh dari kultur Betawi, tertinggal sebagai make-up teks dari usaha
alih-wahana.
Fenomena
lainnya adalah munculnya gejala kecemasan orde-baru yang dihadirkan melalui
pertunjukan ‘Mengapa Kau Culik Anak Kami’
– Seno Gumira Ajidharma oleh Teater Galaxy – Sutradara ; DB.Zeta dan ‘Sssssst’ – Ikranagara oleh Teater
So’Professional – Sutradara ; Scotlet. Apakah kedua pertunjukan tersebut hadir
sebagai gejala daur ulang ketakutan, ataukah ada jejaring politik-teks yang
kembali ditandai. Justru, kedua pertunjukan tersebut dibunyikan oleh Zak Sorga (Seniman Teater-Alumni FTJ) dan
teman-teman KBTJPFTJ (Keluarga Besar
Teater Jakarta Peduli FTJ), yang melarang salah satu program FTJ-43 ;
diskusi dan dramatic reading ‘Album
Kenangan ; #50 tahun 1965’. Paranoia orde-baru dalam teks pertunjukan,
justru dihidupkan oleh jaringan ketakutan yang tersebar dan hidup di luar panggung,
diingatkan dan diruntuhkan sekaligus oleh seniman teater sendiri.
linguistik teater yang khaos
Pertanyaanya
adalah, jika cahaya sebagai upaya penciptaan bahasa teater, kenapa sastra drama
masih dipercaya sebagai alat ukur. Jika kategori kalimat dalam linguistik
teater adalah ; tubuh, bunyi, rupa, cahaya,
sinema, skeneri, dan musik lalu
mengapa kata-kata dan kesusastraan teater teks tetap menjadi plot penilaian
bagi penjurian. Ini bisa menjadi medan pembacaan dari ; apakah sastra drama
memang masih menjadi alat penggerak penciptaan teater, dan apakah penilaian
terhadapnya-ditata melalui kejelasan penokohan aktor dan kejelian
penyutradaraan atas penceritaan plot.
Dalam
pertunjukan ‘Spirit Of Tjijih’ oleh
Unlogic Teater, Bagaimana cara membaca dan membandingkan dramaturgi dari sastra
drama seperti ; Kadung-kait dari
Teater Alamat, dan Tengul dari Sanggar Kummis, dengan
teater fragmen dari Unlogic Teater, yang menyusun kesusastraannya dari
penerjemahan atas benda dan mitos.
Narasi-narasi
arkhaik dari gentong yang dibaca
melalui dua lapis, dari ‘pacaian’ (tempat
membasuh ibu) dan ‘pabeasan’ (tempat
menyimpan beras). Ibu sebagai masa lalu, pewarisan nilai-nilai dengan kebutuhan
gentong yang harus selalu diisi untuk
makan. Bagaimana pemaknaan antara masa lalu dan masa kini dihidupkan melalui
hamburan tanah cokelat di atas panggung dan tarian mitis yang lalu-lalang di
antara reruntuhan gentong.
Pertunjukan yang diustradarai oleh Dina CF ini digerakkan oleh ayunan gentong-gentong yang bergelantungan, dan
kegentingan ruang dihadirkan oleh lepasan-lepasan gentong yang pecah di atas lantai panggung.
Pada
pertunjukan ‘Spirit Of Tjijih’
Unlogic Teater, kalimat teater diurai oleh keringat tubuh aktor, tempo-tempo
koreografi, dan pecahan gentong. Pertanyaannya
lagi adalah ; dimanakah letak bahasa sesungguhnya pada teater, melalui struktur
cerita-kah atau melalui tatanan intrinstik panggung, seperti tema FTJ-43; kali
ini ‘Teater dan Cahaya’. Bagaimanakah
menyusun penilaian dari khaos identitas seperti ini, dan bagaimanakah cara
meneroka festival selanjutnya melalui idiom ‘bunyi’
dan ‘rupa’ dengan basis penilaian
kesusastraan teks yang masih menggelayut, dimana teater sebagai kerja penciptaan
bahasa hilang di tengah belantara kata-kata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar